Aku menatap foto yang tergantung di dinding kamar. Foto lengkap
dengan pakaian kebesaran sebagai seorang imam. Foto yang tersimpan apik
pada pigura berwarna kuning berukuran 60 centimeter kali 40
centimeter. Foto itu seolah tersenyum padaku setiap saat. Biasanya
aku memandangnya sejenak lalu berdoa, Tuhan beri ia kekuatan dan
kesetiaan untuk bekerja di ladang anggur sampai tiba saatnya Engkau
panggil ia kembali kepadaMu.
Entah mengapa malam ini aku secara
khusus memandang potret anakku semata wayang. Tak terasa malam ini ia
sudah sepuluh tahun menyerahkan hidupnya sebagai pelayan Tuhan.
Sepuluh tahun juga ia berkarya di sebuah negara di Afrika jauh dariku.
Tapi aku bahagia karena baru saja tadi sore ia menelpon. Ia
mengabarkan dirinya baik-baik saja.
“ Mama, aku baik-baik saja.
Orang-orang di Afrika sedang merayakan sepuluh tahun imamatku. Mama
berdoa untukku dan untuk umatku di sini”
“ Iya nak, pasti. Mama akan selalu mendoakanmu dan mendoakan umatmu.”
Dengan mendengar suaranya di HP saja aku sudah bahagia. Katanya, ia
baru akan cuti lima tahun lagi. Rasanya menunggu lima tahun sangat
lama. Itu berarti sejak ia ditahbiskan ia baru cuti setelah limabelas
tahun di negeri orang. Rasanya semua penderitaan, tantangan,
kesulitan-kesulitan di masa lalu terkubur sudah. Meskipun selalu ada
bekas, selalu terkenang. Seluruh penderitaanku telah dibayar dengan
harga mahal oleh Sang Pencipta, sumber segala kemurahan, sumber segala
kebahagiaan.
Malam ini aku seolah menyusuri kembali kisah-kisah
yang menggetarkan. Menyusuri kembali kisah-kisah yang nyaris membuat
imanku hancur remuk redam. Aku tidak tahu mengapa waktu itu aku berani
melawan keinginan bapak. Aku heran mengapa ketika itu aku bisa
menantang bapak yang adalah tokoh terhormat di desaku. Kisah itu
terjadi tigapuluh lima tahun silam. Ketika aku duduk di SMA kelas Tiga.
Aku berteman dekat dengan Restu. Aku dan Restu tidak seiman. Suatu
malam ia mengajakku pesta ulang tahun seorang teman. Kami meneguk
minuman keras. Dan aku melayang-layang. Aku mabuk. Pagi harinya aku
sadar sudah berada di kamar kos Restu. Aku sadar, sesuatu telah terjadi
padaku. Sesuatu yang tak kuinginkan. Kulihat Restu yang masih terbaring
di sampingku.
“ Restu, apa yang kau lakukan terhadapku?, aku menangis.
“ Sudahlah Nina, kau tenang saja. Nanti kalau ada apa-apa, aku
bertanggung jawab”, itu janji Restu. Janji yang tak ditepati. Karena
setelah dua bulan kami ujian negara. Restu menghilang dari kehidupanku.
Aku merasakan ada perubahan dalam diriku. Diam-diam aku memeriksakan
diriku ke dokter. Aku pergi sendiri ke dokter karena aku tak mau ada
yang mengetahui hal terburuk yang aku alami. Dan hal terburuk itu pun
terjadi. Aku positif hamil. Aku benar-benar bagai ditampar oleh tangan
raksasa. Kepalaku seperti ditimpa dengan martil berkilo-kilo beratnya.
Pulang ke rumah aku mengurung diri dalam kamar. Ibu yang menangkap
perubahan pada diriku masuk ke dalam kamar. Ia duduk di ranjang
memandang aku yang terbaring dengan tatapan mata kosong ke arah
langit-langit kamar.
“ Nin sayang, ada apa? Kamu sakit?” Tanya mama.
Oh, suara mama yang lembut membuatku makin terperosok dalam kesedihan.
Apa yang harus aku katakan pada mama? Akankah aku mampu melukai hati
perempuan yang telah melahirkanku?
“ Ayo nak, katakan, apa yang
membuatmu murung? Biasanya kamu tuh ceria banget. Mengapa hari ini
berubah?”, tanya mama lagi. Oh, mama, engkau wanita yang mulia. Aku
akan melukai hatiku jika aku mengatakan yang sebenarnya.
“ Mama, aku sudah jatuh…” Aku membenamkan kepala di dada mama.
“ Maksudmu sayang?”
“ Aku hamil”
“ Nina?”, mama berteriak. Derai air mataku tak terbendung lagi. Kurasakan butir air mata mama membasahi pundakku.
“ Restu ma, Restu ayah janin dalam perutku” Ibu tak berkata-kata lagi.
Perempuan itu diam. Matanya menatapku. Air matanya berderai.Lalu ia
memelukku, menciumku. Aku tahu ibu terluka. Tetapi semuanya sudah
terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.
“ Sebaiknya kita sampaikan pada bapa”
“Aku takut, ma”
“ Kau harus berani nak, harus. Kuatkan hatimu”, bujuk mama.
Dan malam itu menjadi malam yang sangat mencekam. Malam yang menguju
ketahanan iman. Malam yang menggiringku untuk tetap menjadi ibu dari
bayi yang kukandung atau berubah menjadi predator yang membunuhnya
dengan cara keji, digugurkan. Dengan gemetar aku bersimpuh di hadapan
bapak. Aku berkata sejujurnya.
“ Aku hamil, pak”
“ Apa, hamil? Siapa laki-laki yang melakukannya?”, Hardik bapa.
“ Restu, pak.”
“ Dimana dia, dimana rumahnya?”
“ Ia pergi entah kemana”
Kulihat bapak diam sejenak. Aku tahu bapak sangat kecewa dengan
perbuatanku yang telah mencoreng nama baik keluarga. Lalu tiba-tiba bapa
dengan tegas mengatakan sesuatu.
“ Besok ke dukun, gugurkan. Aku tak mau punya cucu yang asal usul keturunannya tidak jelas”
“ Bapa, maafkan Nina, maafkan. Biarkan Nina menanggung semua ini. Nina
sudah berdosa. Nina tak mau menambah dosa dengan membunuh janin yang
tak berdosa”
“ Kau tidak tahu bahwa perbuatanmu ini akan membuat
bapa malu. Bapa ini tokoh panutan warga, tokoh panutan umat, prodiakon.
Apa kata orang nanti terhadap bapamu ini?”
“ Biarkan Nina menanggung semuanya pa. Biarlah Nina pergi dari rumah ini, demi nama baik keluarga”
“ bagus, besok pergi dari rumah ini.”, suara bapa tegas.
Esok hari aku bersama mama meninggalkan rumah. Aku dan mama
akhirnya tinggal di kota ini. Mama harus menemani aku selama sembilan
bulan sampai aku melahirkan. Dan ketika Martin telah berusia enam
bulan dan dibaptis, mama pulang ke Jogyakarta. Lalu dari Jogya mama
menelpon bahwa esoknya nanti ada dek Surti yang akan ke Denpasar
untuk menemaniku. Aku berterimakasih dek Surti benar-benar datang. Ia
adalah keponakanku, anak dari bulekku.
“ Mbak Nina, kamu cari kerja. Biar aku yang merawat Martin.”
“ Serius dek?”
“ Mbak, aku ini adikmu, massa tak percaya?”
“ Aku percaya dek.” Aku membatin, Tuhan terimakasih untuk semua kebaikan, mengirim Surti untuk menjadi pahlawanku.
Kebetulan di sebuah koperasi kredit membutuhkan tenaga. Aku mencoba
melamar dan aku diterima sebagai tenaga kasir. Aku bekerja dengan
tekun dan jujur. Bagiku kejujuran adalah modal utama. Selain dengan
kerja aku menerima gaji, bapa dan mama masih tetap mengirim biaya
bulanan. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakakku laki-laki
sudah bekerja. Mereka juga sering mengirimku uang.Suatu malam aku
mendapat telpon dari kakaku yang sulung di Australia. Ia kuliah di sana
dan setelah selesai ia bekerja di sebuah perusahaan besar.
“ Nin, kamu tak berniat kuliah lagi?”
“ memang aku bisa kak?”
“ Mengapa tidak? Ayo kuliah, biayanya kakak yang talangi. Kalau kamu punya kemauan pasti ada jalan”
“ Tapi aku sudah bekerja kak?”
“ Kerjanya dari pagi sampai malam sampai pagi?”
“ Ya tidaklah.”
“ Jadi masih ada waktu untuk kuliah kan? Ingat kamu itu adik
kesayanganku. Kamu harus kuliah, titik. Besok aku transfer uangnya.”
Mas Anton dan Mas Sonny memang sangat menyayangiku. Mereka mendorongku
untuk kuliah. Ketika kukabarkan hal itu kepada bapa dan mama di Jogya
mereka sangat mendukung. Sebab Martin yang sudah mau masuk sekolah dasar
ada yang mengurus. Dek Surti benar-benar sangat telaten. Jadi aku bisa
dengan lega memutuskan untuk kuliah lagi di Warmadewa mengambil program
studi akuntansi. Empat tahun aku menyelesaikan sarjana. Lalu dengan
dorongan Mas Anton dan Mas Sonny, kedua kakakku, aku mengambil program
magister manajemen.
Tak terasa Martin sudah ujian akhir di sekolah
dasar. Ia lulus dengan nilai sangat memuaskan. Ketika aku bertanya mau
melanjutkan ke SMP mana, Martin sejenak diam.Lalu ia berkata.
“ Ma, kalau Martin masuk seminari, mama setuju?”
“ Masuk seminari? Serius nak?”
“ Serius ma”. Kulihat aura kesungguhan di wajah anakku. Kupikir, ibu
yang bijak jangan membunuh keinginan dan menghalangi pilihan. Maka aku
mengatakan sangat mendukung.
“ Mama mendukung, nak.”
Sejak
Martin memilih masuk seminari, sejak itu aku berpisah dengannya. Ia
hidup di sebuah seminari dengan aturannya. Kupikir setelah
menyelesaikan seminari SMP Martin akan berubah pikiran. Ternyata
dugaanku meleset. Setelah lulus SMP Martin melanjutkan ke Seminari
SMA. Ia harus meninggalkan Bali dan pergi ke Jawa Tengah. Lagi-lagi
aku berpikir, mungkin Martin akan berubah pikiran setelah ia
menyelesaikan SMA. Ternyata aku meleset lagi. Martin diterima di sebuah
serikat yang mendidik para imam untuk menjadi misionaris. Frater
Martin menjalani panggilannya seperti air yang mengalir ke muara, tanpa
halangan menapaki jalan.Ia menyelesaikan studi filsafat tepat waktu.
Lalu ia menjalani tahun orientasi pastoral dua tahun. Ia kembali ke
seminari tinggi di Malang belajar teologi. Setelah itu kaul kekal
disusul tahbisan diakon dan puncaknya tahbisan imam. Dengan menyandang
nama Pater Martinus, ia diutus ke Afrika, menjadi misionaris di negeri
itu.
Aku tersentak ketika pintu kamarku diketuk. Aku membukanya dan tampak dek Surti tersenyum.
“ Mbak umat lingkungan sudah pada datang. Kan ini malam ada doa syukuran sepuluh tahun tahbisan Pater Martin.”
“ Oh ya, aku hampir lupa.”
Sejenak aku kembali memandang potret Pater Martin dan membatin. Nak,
malam ini mama bersama bulekmu Surti dan umat lingkungan berkumpul di
rumah berdoa untuk syukur atas tahbisan imamatmu. Engkau baru sepuluh
tahun menapaki jalan imamatmu. Jalanmu masih panjang nak. Belajarlah
untuk setia di jalan Tuhan yang telah Tuhan sendiri rancang untukmu
sejak engkau dalam rahim mama. Kutahu engkau cuma dititipkan Tuhan
dalam rahimku dan ketika tiba saatnya Ia merebutmu dari genggamanku
karena Ia membutuhkanmu untuk pergi dan mewartakan wajah Kristus di
negeri yang jauh. Engkau telah melangkah lebih jauh. Selamat malam
Pater Martin, aku mencium potretnya, penuh cinta. Agusthuru